Dompet Buat Emak
DOMPET
BUAT EMAK
Oleh
Miftah Chairani
El-Surya
Koin-koin
uang itu bergelinding kemana-mana saat aku dan emak dalam perjalanan menuju
pasar untuk menjual sayur, dengan sigap aku dan emak memunguti semua koin-koin
ratusan itu dan memasukkannya kembali pada dompet emak, ini sudah kesekian kali
koin-koin uang berjatuhan dari dompet emak, dompetnya sudah bolong diujungnya,
sehingga mudah dilewati oleh koin-koin kecil itu, sudah beberapa kali emak
jahit, tapi tetap saja tidak bertahan lama, itulah dompet satu-satunya emak,
dompet bertuliskan Toko Emas Haji Mansyur, dompet itu pula kali pertama emak
mendapatkan hadiah sebuah kalung emas dari abah sewaktu hidup beliau, dan dia
sangat mencintai dompet itu seperti mencintai abah. Emak pun enggan mengganti
dengan yang baru, ia selalu bilang kalau uang didalam hilang berarti bukan
rezeki kita, ya, emak selalu percaya kalau rezeki itu takkan kemana, jika Allah
mentakdirkan uang itu hilang maka memang bukan rezeki kita, ya, walaupun aku
ingin memperbaiki sedikit cara pikir emak kalau kita juga patut waspada, tapi
aku segan, wanita yang sudah separuh baya ini baginya itu tidak masalah, dia
sangat percaya dengan keyakinanya itu.
Pagi ini udara begitu cerah, dari
subuh hari kami sudah memetik sayur pucuk ubi dari kebun kecil kami, Cuma dapat
sepuluh ikat, seikat dijual dua ribu perak, kadang ada juga yang menawar seribu
perak, tapi itu setelah ada tawar menawar hebat antara emak dan pembeli.
“mak tidakkah kita rugi kalau jual segitu,
penjual sayur disana jual lebih mahal daripada kita” emak hanya tersenyum, senyumnya
sangat ikhlas dan tenang. “Tidak masalah jang, kalo kita jual murah,
orang-orang akan sering membeli kesini, bagi emak, orang-orang ini adalah
keluarga, bukan seorang pembeli,” Cuma itu setiap kali jawaban emak saat aku
bertanya. Ah, wanita ini tampak begitu cantik bagiku, ya emak memang cantik,
hatinya.
Baru tengah hari jualan sayur kami
sudah habis, benar juga kata emak, rezeki itu tidak kemana, penjual sayur yang
menjual sayur lebih mahal dari kami sayurnya masih belum habis terjual,
sayurnyapun sudah tampak tidak segar lagi meski sipenjual sudah memercikkan air
berulang kali kesayur-sayurnya, tapi tetap saja tampak kurang segar lagi. “jang
ini, belilah es atau permen ke lapau mak ijah” emak menyodorkan uang seribu
rupiah kepadaku “banyak sekali mak” aku tercengang melihat seribuan yang
disodorkan emak, aku memang tidak biasa jajan, biasanya kalau untuk uang jajan
paling emak sering memberi lima ratus perak.”mau tidak?” dengan senang hati aku
mengambil uang itu dari tangan emak dan berterima kasih kepada beliau. Kubeli
dua batang es mambo untukku dan emak, kami menikmati es itu berdua di lapak
tempat kami berjualan tadi, diam-diam kusisakan beberapa ratus rupiah untuk
ditabung, untuk beli dompet baru emak.
***
“jang mak pergi kepasar dulu, kau
baik-baik sekolah ya nak” kata mak sambil memikul bakul berisi sayur pucuk ubi
dipunggungnya setelah aku melipat sajadah selesai sholat subuh,”iya mak,
hati-hati mak” aku mengantarkan emak hingga pintu, menatapi badan kurus yang
kuat itu, hingga hilang diantara kabut subuh, dingin sekali, badanku tak
sanggup lama-lama berdiri diluar, aku jadi teringat emak, mungkin emak kedinginan,
keberatan membawa bakul, biasanya kalau hari minggu aku bisa membantu emak
karena libur, tapi hari ini aku harus sekolah, pernah aku berniat berhenti
sekolah, ingin bantu emak, karena aku anak laki laki semata wayang beliau, tapi
emak melarang, emak ingin aku sukses, cita-cita beliau ingin aku menjadi PNS,
kata emak aku akan sejahtera nanti kalau jadi PNS, emak tidak ingin aku seperti
abah ataupun dirinya. Begitulah emak, harapannya adalah motivasi bagiku.
Sebelum berangkat sekolah, aku
biasanya membersihkan rumah dan menanak nasi untuk sarapan dan makan siang emak
jika sudah pulang dari pasar, sayur pucuk ubi dan sambal menjadi sarapan tiap
hariku, kadang kalua emak dapat rezeki lebih bisa beli telur atau ikan, aku
bersyukur meski sarapan sederhana ini, tubuhku masih bisa sehat, bisa
berprestasi disekolah. Yang penting syukur, itulah selalu emak bilang, siapa
yang bersyukur Allah akan menambahkan rezeki untuknya. Sambil menanak nasi,aku
membersihkan rumah hingga kekamar emak, sebuah dipan kayu dan sebuah lemari
kecil disudut kamar emak, lantainya juga sudah tidak rata lagi, semennya sudah
banyak yang berlubang, sebuah foto pernikahan yang sudah menguning dengan
figura kaca sangat terawat, sepertinya mak rajin membersihkannya, itu foto
pernikahan emak dan abah, setiap kali memandangi foto itu hatiku rindu dengan
abah, rindu kami bersama lagi. Sesaaat kemudian saat aku menyapu kamar emak
kudapati koin-koin berceceran didekat dipan emak, kupunguti semua, kudapati
pula koin-koin itu dikolong dipan emak, cukup banyak, ah lagi-lagi emak menjatuhkan
uangnya dari dompet bolongnya.
Sudah sore emak belum kunjung pulang
kerumah, tak biasa emak belum pulang sesore ini. Tanpa pikir panjang aku menuju
pasar, ke lapak tempat biasa emak menjual sayur, kudapati kerumunan orang tak
jauh dari lapak tempat kami menjual sayur, aku menerobos masuk kedalam
kerumunan itu, dadaku sesak melihat apa yang terjadi didepan mataku, mak
gembrot tukang penjual sayur yang sayurnya sering tak laris itu mengata-ngatai
emak, mengeluarkan carut marut kepada emak, dan kemudian mendorong emak hingga
terjatuh, bakul dan sayur nya ikut terjatuh, dompet emak ikut terjatuh, semua
koin-koin kembali berserakan, tubuh tua emak tidak melawan, orang-orang
sekeliling tidak ada yang sanggup melerai, Cuma wajah-wajah iba yang
disumbangkan kepada emak, aku segera berlari memapah emak untuk berdiri.” Hei,
kau, emak kau ini pakai pelet apa pada pembeli dipasar ini, dasar wanita
penggoda” telingaku memerah saat mak gembrot dan mulutnya itu mengoceh
demikian, ingin kutampar wanita gembrot itu, tapi kemudian tanganku dipegang
emak, kemudian menggeleng kepadaku. Air mataku rasanya ingin tumpah, segera aku
tahan. “nah, liatkan, kalian Cuma bisa diam berarti benar kalian pakai pelet
agar sayur kalian laris..hahaha” mak gembrot tertawa puas saat kami Cuma bisa
diam. Mak gembrot segera mengemasi semua dagangannya sambil terus mengoceh dan
tertawa puas.
***
“Mak, kenapa tidak mak lawan mak
gembrot itu, mak sudah difitnah” kataku saat menghidangkan air putih sesudah
sholat magrib kepada emak, “tidak jang, semakin kita lawan keadaan akan tidak
baik, kita memang diam, tapi bukan berarti kita salah, muslim yang baik itu
adalah muslim yang tidak menyakiti saudaranya dengan lisannya, meski ia sanggup
melawannya, kalau mak balas mak bukan muslim yang baik, biarlah Allah yang
membalas, toh kita tidak syirik kepada Allah seperti yang dikatakan beliau” aku
hanya terdiam mendengar penjelasan mak, bagiku emak terlalu baik, air mata ku
hampir meleleh melihat wajah mak yang hampir keriput, wajah lelah yang masih
tetap tegar.
Sudah dua minggu, kami berjualan di
lapak yang baru, alhamdulillah meski tidak di lapak yang sama, sayur pucuk ubi
kami masih tetap laris, setiap kali selesai jualan emak selalu memberi aku uang
jajan, setengahnya aku sisihkan untuk menabung, beli dompet baru buat emak dan
sekarang uangnya sudah cukup ditambah dengan tabunganku yang lain, dua puluh
ribu rupiah, cukup membeli dompet yang dijual murah di pinggiran pasar,
modelnya juga bagus-bagus. “mak, ujang pergi sebentar ya” kataku pada emak “mau
kemana jang?” tanya emak,”mau keliling-keliling pasar mak, liat-liat”
jawabku.”iya, pergilah” kata emak.
Suasana memang sangat ramai siang
hari minggu ini, perasaanku sangat senang dan tidak sabaran membelikan dompet
baru untuk emak, tiba di kaki lima penjual dompet aku sibuk memilih
dompet-dompet cantik itu, meski harus rebutan dengan beberapa ibu-ibu dan
gadis-gadis untuk membeli dompet murah meriah itu., kuperhatikan pilihan para
ibu-ibu itu, semoga selera emak sama dengan selera ibu-ibu itu. Kupilih yang
warnanya tidak terlalu mencolok. Kemudian kubayar dengan hati puas kepada abang
penjual dompet. Hatiku bertambah senang akhirnya aku bisa membelikan dompet
baru untuk emak, emak pasti senang.
Diperjalan menuju lapak sayur emak,
aku melihat mak gembrot sedang celingak-celinguk dengan wajah cemas, ah ada
apa, aku ingin bertanya, tapi kemudian mak gembrot melihatku, memperhatikanku
dan menatap sinis kepada dompet yang aku pegang. ‘ah kau
rupanya..copet..copet..ini copetnya”, aku terkejut bukan main, tanpa komando aku
langsung berlari, masa mengejarku, pikiranku kalut, kenapa tiba-tiba disangka
pencopet oleh mak gembrot, kakiku tak sanggup lagi berlari dan tersandung oleh
jalanan pasar yang berlubang, orang-orang yang mengejarku hampir dekat,
kututupi kapalaku dengan dengan tangan kiri dan dompet untuk emak kupegang erat
didadaku dengan tangan kanan, tubuhku merasakan pukulan tepat di punggung, muka,
dan perut, aku tidak tau berapa orang yang memukulku, tubuhku ngilu, sakit,
perih. Terdengar sayup-sayup suara mak gembrot. “hajar terus, biar mampus kau
pencopet, dasar anak tukang pelet” kepalaku pusing, ditengah ramainya pukulan,
tak lama kemudian aku dengar suara emak, suaranya gemetar menyuruh semua orang
berhenti memukuliku, kemudian rasa sakit tak bisa kutahan dompet baru emak
terinjak-injak oleh orang-orang itu, aku menangis sekerasnya berusaha
mengatakan aku bukan pencopet, tapi tak kuasa karena tubuhku sudah sangat
lemah. Setelah puas orang-orang itu berhenti memukulku, tak satupun orang
menolong ku kecuali emak yang berusaha menerobos amukan masa, hingga emak juga
terkena pukulan.
Kemudian mak gembrot mengambil
dompet itu dari tanah, sudah kotor karena terinjak-injak, kemudian ia membuka
dompet,”kurang ajar, mana isinya, kau sembunyikan dimana uangku”tanya mak
gembrot geram, “mak ujang tak mencuri, dompet itu ujang beli buat emak tadi”
aku berusaha menjelaskan kepada emak tanpa menjawab pertanyaan mak gembrot.” Ah
pembohong kau, jelas ini dompet saya, bentuknya sama”. Tubuhku serasa memanas
ingin menampar wanita itu, tapi aku tak berdaya. emak hanya terdiam aku takut emak
tidak percaya, tatapan emak dingin padaku, tatapan baru pertama kali aku lihat
dari emak, mungkinkah emak tidak percaya kepadaku, air mataku mengalir, kupegang
erat tangan emak, tidak dapat aku berkata lagi kepada emak, semua orang dipasar
berkerumun, memandangi kami, air mata kami, antara benci dan kasihan.
(Padang,
14 Oktober 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar