Kamis, 18 Oktober 2012

Dompet Buat Emak

DOMPET BUAT EMAK

Oleh

Miftah Chairani El-Surya

 

 

 

 

 

 

 

Koin-koin uang itu bergelinding kemana-mana saat aku dan emak dalam perjalanan menuju pasar untuk menjual sayur, dengan sigap aku dan emak memunguti semua koin-koin ratusan itu dan memasukkannya kembali pada dompet emak, ini sudah kesekian kali koin-koin uang berjatuhan dari dompet emak, dompetnya sudah bolong diujungnya, sehingga mudah dilewati oleh koin-koin kecil itu, sudah beberapa kali emak jahit, tapi tetap saja tidak bertahan lama, itulah dompet satu-satunya emak, dompet bertuliskan Toko Emas Haji Mansyur, dompet itu pula kali pertama emak mendapatkan hadiah sebuah kalung emas dari abah sewaktu hidup beliau, dan dia sangat mencintai dompet itu seperti mencintai abah. Emak pun enggan mengganti dengan yang baru, ia selalu bilang kalau uang didalam hilang berarti bukan rezeki kita, ya, emak selalu percaya kalau rezeki itu takkan kemana, jika Allah mentakdirkan uang itu hilang maka memang bukan rezeki kita, ya, walaupun aku ingin memperbaiki sedikit cara pikir emak kalau kita juga patut waspada, tapi aku segan, wanita yang sudah separuh baya ini baginya itu tidak masalah, dia sangat percaya dengan keyakinanya itu.

 

            Pagi ini udara begitu cerah, dari subuh hari kami sudah memetik sayur pucuk ubi dari kebun kecil kami, Cuma dapat sepuluh ikat, seikat dijual dua ribu perak, kadang ada juga yang menawar seribu perak, tapi itu setelah ada tawar menawar hebat antara emak dan pembeli.

 “mak tidakkah kita rugi kalau jual segitu, penjual sayur disana jual lebih mahal daripada kita” emak hanya tersenyum, senyumnya sangat ikhlas dan tenang. “Tidak masalah jang, kalo kita jual murah, orang-orang akan sering membeli kesini, bagi emak, orang-orang ini adalah keluarga, bukan seorang pembeli,” Cuma itu setiap kali jawaban emak saat aku bertanya. Ah, wanita ini tampak begitu cantik bagiku, ya emak memang cantik, hatinya.

            Baru tengah hari jualan sayur kami sudah habis, benar juga kata emak, rezeki itu tidak kemana, penjual sayur yang menjual sayur lebih mahal dari kami sayurnya masih belum habis terjual, sayurnyapun sudah tampak tidak segar lagi meski sipenjual sudah memercikkan air berulang kali kesayur-sayurnya, tapi tetap saja tampak kurang segar lagi. “jang ini, belilah es atau permen ke lapau mak ijah” emak menyodorkan uang seribu rupiah kepadaku “banyak sekali mak” aku tercengang melihat seribuan yang disodorkan emak, aku memang tidak biasa jajan, biasanya kalau untuk uang jajan paling emak sering memberi lima ratus perak.”mau tidak?” dengan senang hati aku mengambil uang itu dari tangan emak dan berterima kasih kepada beliau. Kubeli dua batang es mambo untukku dan emak, kami menikmati es itu berdua di lapak tempat kami berjualan tadi, diam-diam kusisakan beberapa ratus rupiah untuk ditabung, untuk beli dompet baru emak.

                                                                        ***

 

            “jang mak pergi kepasar dulu, kau baik-baik sekolah ya nak” kata mak sambil memikul bakul berisi sayur pucuk ubi dipunggungnya setelah aku melipat sajadah selesai sholat subuh,”iya mak, hati-hati mak” aku mengantarkan emak hingga pintu, menatapi badan kurus yang kuat itu, hingga hilang diantara kabut subuh, dingin sekali, badanku tak sanggup lama-lama berdiri diluar, aku jadi teringat emak, mungkin emak kedinginan, keberatan membawa bakul, biasanya kalau hari minggu aku bisa membantu emak karena libur, tapi hari ini aku harus sekolah, pernah aku berniat berhenti sekolah, ingin bantu emak, karena aku anak laki laki semata wayang beliau, tapi emak melarang, emak ingin aku sukses, cita-cita beliau ingin aku menjadi PNS, kata emak aku akan sejahtera nanti kalau jadi PNS, emak tidak ingin aku seperti abah ataupun dirinya. Begitulah emak, harapannya adalah motivasi bagiku.

            Sebelum berangkat sekolah, aku biasanya membersihkan rumah dan menanak nasi untuk sarapan dan makan siang emak jika sudah pulang dari pasar, sayur pucuk ubi dan sambal menjadi sarapan tiap hariku, kadang kalua emak dapat rezeki lebih bisa beli telur atau ikan, aku bersyukur meski sarapan sederhana ini, tubuhku masih bisa sehat, bisa berprestasi disekolah. Yang penting syukur, itulah selalu emak bilang, siapa yang bersyukur Allah akan menambahkan rezeki untuknya. Sambil menanak nasi,aku membersihkan rumah hingga kekamar emak, sebuah dipan kayu dan sebuah lemari kecil disudut kamar emak, lantainya juga sudah tidak rata lagi, semennya sudah banyak yang berlubang, sebuah foto pernikahan yang sudah menguning dengan figura kaca sangat terawat, sepertinya mak rajin membersihkannya, itu foto pernikahan emak dan abah, setiap kali memandangi foto itu hatiku rindu dengan abah, rindu kami bersama lagi. Sesaaat kemudian saat aku menyapu kamar emak kudapati koin-koin berceceran didekat dipan emak, kupunguti semua, kudapati pula koin-koin itu dikolong dipan emak, cukup banyak, ah lagi-lagi emak menjatuhkan uangnya dari dompet bolongnya.

            Sudah sore emak belum kunjung pulang kerumah, tak biasa emak belum pulang sesore ini. Tanpa pikir panjang aku menuju pasar, ke lapak tempat biasa emak menjual sayur, kudapati kerumunan orang tak jauh dari lapak tempat kami menjual sayur, aku menerobos masuk kedalam kerumunan itu, dadaku sesak melihat apa yang terjadi didepan mataku, mak gembrot tukang penjual sayur yang sayurnya sering tak laris itu mengata-ngatai emak, mengeluarkan carut marut kepada emak, dan kemudian mendorong emak hingga terjatuh, bakul dan sayur nya ikut terjatuh, dompet emak ikut terjatuh, semua koin-koin kembali berserakan, tubuh tua emak tidak melawan, orang-orang sekeliling tidak ada yang sanggup melerai, Cuma wajah-wajah iba yang disumbangkan kepada emak, aku segera berlari memapah emak untuk berdiri.” Hei, kau, emak kau ini pakai pelet apa pada pembeli dipasar ini, dasar wanita penggoda” telingaku memerah saat mak gembrot dan mulutnya itu mengoceh demikian, ingin kutampar wanita gembrot itu, tapi kemudian tanganku dipegang emak, kemudian menggeleng kepadaku. Air mataku rasanya ingin tumpah, segera aku tahan. “nah, liatkan, kalian Cuma bisa diam berarti benar kalian pakai pelet agar sayur kalian laris..hahaha” mak gembrot tertawa puas saat kami Cuma bisa diam. Mak gembrot segera mengemasi semua dagangannya sambil terus mengoceh dan tertawa puas.

                                                                        ***

            “Mak, kenapa tidak mak lawan mak gembrot itu, mak sudah difitnah” kataku saat menghidangkan air putih sesudah sholat magrib kepada emak, “tidak jang, semakin kita lawan keadaan akan tidak baik, kita memang diam, tapi bukan berarti kita salah, muslim yang baik itu adalah muslim yang tidak menyakiti saudaranya dengan lisannya, meski ia sanggup melawannya, kalau mak balas mak bukan muslim yang baik, biarlah Allah yang membalas, toh kita tidak syirik kepada Allah seperti yang dikatakan beliau” aku hanya terdiam mendengar penjelasan mak, bagiku emak terlalu baik, air mata ku hampir meleleh melihat wajah mak yang hampir keriput, wajah lelah yang masih tetap tegar.

            Sudah dua minggu, kami berjualan di lapak yang baru, alhamdulillah meski tidak di lapak yang sama, sayur pucuk ubi kami masih tetap laris, setiap kali selesai jualan emak selalu memberi aku uang jajan, setengahnya aku sisihkan untuk menabung, beli dompet baru buat emak dan sekarang uangnya sudah cukup ditambah dengan tabunganku yang lain, dua puluh ribu rupiah, cukup membeli dompet yang dijual murah di pinggiran pasar, modelnya juga bagus-bagus. “mak, ujang pergi sebentar ya” kataku pada emak “mau kemana jang?” tanya emak,”mau keliling-keliling pasar mak, liat-liat” jawabku.”iya, pergilah” kata emak.

            Suasana memang sangat ramai siang hari minggu ini, perasaanku sangat senang dan tidak sabaran membelikan dompet baru untuk emak, tiba di kaki lima penjual dompet aku sibuk memilih dompet-dompet cantik itu, meski harus rebutan dengan beberapa ibu-ibu dan gadis-gadis untuk membeli dompet murah meriah itu., kuperhatikan pilihan para ibu-ibu itu, semoga selera emak sama dengan selera ibu-ibu itu. Kupilih yang warnanya tidak terlalu mencolok. Kemudian kubayar dengan hati puas kepada abang penjual dompet. Hatiku bertambah senang akhirnya aku bisa membelikan dompet baru untuk emak, emak pasti senang.

            Diperjalan menuju lapak sayur emak, aku melihat mak gembrot sedang celingak-celinguk dengan wajah cemas, ah ada apa, aku ingin bertanya, tapi kemudian mak gembrot melihatku, memperhatikanku dan menatap sinis kepada dompet yang aku pegang. ‘ah kau rupanya..copet..copet..ini copetnya”, aku terkejut bukan main, tanpa komando aku langsung berlari, masa mengejarku, pikiranku kalut, kenapa tiba-tiba disangka pencopet oleh mak gembrot, kakiku tak sanggup lagi berlari dan tersandung oleh jalanan pasar yang berlubang, orang-orang yang mengejarku hampir dekat, kututupi kapalaku dengan dengan tangan kiri dan dompet untuk emak kupegang erat didadaku dengan tangan kanan, tubuhku merasakan pukulan tepat di punggung, muka, dan perut, aku tidak tau berapa orang yang memukulku, tubuhku ngilu, sakit, perih. Terdengar sayup-sayup suara mak gembrot. “hajar terus, biar mampus kau pencopet, dasar anak tukang pelet” kepalaku pusing, ditengah ramainya pukulan, tak lama kemudian aku dengar suara emak, suaranya gemetar menyuruh semua orang berhenti memukuliku, kemudian rasa sakit tak bisa kutahan dompet baru emak terinjak-injak oleh orang-orang itu, aku menangis sekerasnya berusaha mengatakan aku bukan pencopet, tapi tak kuasa karena tubuhku sudah sangat lemah. Setelah puas orang-orang itu berhenti memukulku, tak satupun orang menolong ku kecuali emak yang berusaha menerobos amukan masa, hingga emak juga terkena pukulan.

            Kemudian mak gembrot mengambil dompet itu dari tanah, sudah kotor karena terinjak-injak, kemudian ia membuka dompet,”kurang ajar, mana isinya, kau sembunyikan dimana uangku”tanya mak gembrot geram, “mak ujang tak mencuri, dompet itu ujang beli buat emak tadi” aku berusaha menjelaskan kepada emak tanpa menjawab pertanyaan mak gembrot.” Ah pembohong kau, jelas ini dompet saya, bentuknya sama”. Tubuhku serasa memanas ingin menampar wanita itu, tapi aku tak berdaya. emak hanya terdiam aku takut emak tidak percaya, tatapan emak dingin padaku, tatapan baru pertama kali aku lihat dari emak, mungkinkah emak tidak percaya kepadaku, air mataku mengalir, kupegang erat tangan emak, tidak dapat aku berkata lagi kepada emak, semua orang dipasar berkerumun, memandangi kami, air mata kami, antara benci dan kasihan.

 

(Padang, 14 Oktober 2012)

             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...