Seusai
sarapan pagi ijal adikku berumur enam tahun sudah sibuk membantu bapak
membawakan beberapa karung rumput ke masjid, sengaja disisihkan karung kecil
agar ijal bisa membawanya, rumput-rumput itu untuk makan sapi yang akan
disembelih pada hari raya haji yang tinggal beberapa hari lagi. Ijal sangat senang, senang hari
raya haji akan segera datang, ia ingin makan daging, dibuatkan rendang pintanya
kepada ibu. Memang hari raya haji adalah saat yang membahagiakan bagi keluarga
kami, bahagia bisa makan enak dengan daging sapi, kami memang hanya makan
daging sapi setiap hari raya idul fitri atau idul adha. Daging adalah makanan
mewah bagi kami, harganya mahal bagi kantong bapak yang kerja serabutan dengan upah yang tidak
menentu. Bapak dipercaya pengurus masjid untuk merawat sapi-sapi itu, memberi
makan dan membersihkan kandang yang dibuat di belakang masjid, ijal adalah yang
paling setia membantu bapak.
Setiap pagi dan sore ijal terus
mengunjungi kandang sapi-sapi itu, selain untuk memberi makan ia juga mengajak
teman-teman kecilnya bermain-main dekat kandang, ia selalu cekikikan ketika
sapi sapi itu mengelurkan suara khasnya, dan marah kalau ada anak-anak usil
mengganggu sapi-sapi itu dengan menjulurkan batang bambu keperut sang sapi,
hampir dia berkelahi karena anak-anak usil sengaja mengganggu si sapi, untung
bapak ada disana saat itu.
“buk, bisa kan masak rendang?” tanya
ijal saat makan malam, “bisa dong jal” jawab ibu. Ijal termenung “koq nasinya
dipandangi aja jal, makan gih” ibu menyodorkan piring kedekat ijal.”ijal mau
makan rendang buk, bosan ijal makan ikan kering terus” ibu memandangi bapak
yang suapnya terhenti karena mendengar perkataan ijal, akupun juga ikut
berhenti. Bapak tersenyum dan memeluk anak laki-laki kecilnya itu “sabar ijal,
sebentar lagi hari raya haji, kita akan buat rendang yang banyak” kata ayah
sembari mengusap kepala anaknya itu. “iya pak, ijal gak mau makan sekarang,
nanti aja makannya dipuas-puasin kalo udah ada rendang” kata ijal dengan
semangat, ia tampak tak sabar untuk makan rendang. “tapi kalau ijal tidak
makan, nanti sakit” kata ibu. Ijal tetap tidak mau makan, ia mengambil mainan
robot-robot yang telah hilang kakinya sebelah, di main-mainkan diudara,
seolah-olah robot itu sedang terbang.
***
Subuh hari bapak pergi ke masjid,
ijal juga terbangun karena terdengar bapak akan pergi ke masjid, segera ia cuci
mukanya dan mengikuti bapak ke masjid, sholat jamaah selesai di masjid saat
semua orang berdoa, ijal langsung pergi kebelakang masjid, memperhatikan sapi-sapi itu satu persatu, tiba-tiba bapak
datang memanggil ijal mengajak pulang “ijal, pulang nak” kata bapak “pak besok,
sembelih sapi yang paling ujung itu ya
pak, sapinya gede bisa buat rendang banyak pak” kata rijal sambil
menunjuk-nunjuk sapi yang menurutnya paling besar, bapak tersenyum, ijal pikir
hari raya qurban nanti akan dapat daging seekor sapi itu.
Sudah dua hari ijal tidak mau makan,
ia selalu minta ingin makan rendang, makannya Cuma sedikit, tiap hari ia bermain
di kandang sapi sapi itu, memamerkan kepada temannya kalau sapi yang paling
besar itu adalah sapi untuknya, sapi yang akan direndang ibu nanti.
“buuuk, rendang… mau makan rendang”
ijal mengigau dalam tidurnya. Ibuk yang tidur disamping ijal terbangun, keringat
dingin mengalir di tubuh ijal, badannya panas, ijal menangis, bapak juga
terbangun dan segera mengambil air hangat kuku untuk mengopres ijal, aku
mengambilkan minum untuk ijal. “buuk, ijal mau makan rendang” sambil tersedu
sedu. “iya besok ijal makan rendang ya” jawab ibu sembari megusap kening
anaknya kemudian dipangku dipelukannya, tidak lama kemudian ijal kembali
tertidur.
Subuh hari biasanya ayah pergi ke
masjid untuk sholat subuh dimasjid, kali ini ijal tidak ikut, ijal masih
tertidur, panasnya masih tinggi, ibuk setia mendapingi disisi. “buk, sebaiknya
kita bawa ijal ke bidan” kataku pada ibuk, “bagaimana uangnya sah, ibuk tidak
punya uang” jawab ibuk dengan wajah sendu. Aku melipat kedua kakiku rapat
kedada, memandangi ijal, hari ini hari raya haji, hari yang ditunggu tunggu
ijal. Kumandang takbir telah terdengar berkumandang, bergema menggetarkan hati.
Ijal terbangun ia tersenyum mendengarkan takbir, tapi kemudaian ia
muntah-muntah, ibu mengambil ember kecil agar ijal muntah didalamnya kemudian
menggosok-gosok punggung ijal. Setelah muntah ijal tampak lemas, dia menangis lagi,
ibu memeluk erat ijal.
Jam delapan pagi, semua orang sudah
bergegas pergi ke masjid untuk sholat idul adha, ibuk tidak pergi karena
mengurusi ijal yang sakit dirumah, terpaksa aku pergi sendiri, setelah selesai
sholat idul adha, saatnya sapi-sapi itu disembelih, aku turut melihat proses
penyembelihan itu, bapak adalah salah satu tukang penyembelih kurban. Banyak
anak-anak yang menyaksikannya, aku jadi teringat ijal, hari ini ia akan makan
enak, makan rendang.
Akhirnya setelah menunggu lama aku
dan bapak mendapatkan daging kurban sekantong daging kurban, kira-kira dua
kilo, dengan senang hati bapak membawa daging-daging itu pulang, untuk ijal,
untuk kami yang sudah lama tidak makan daging. Sesampai dirumah kami dapati
ijal masih tergolek lemas dikasurnya. Ibu membelai belai rambut ijal. Panas
ijal bertambah tinggi, wajahnya memerah, peluhnya mengalir.”pak kita bawa saja
ke bidan, demamnya sudah tinggi sekali” kata ibuk. Bapak terdiam, wajahnya
berubah sedih “buk, masih adakah uang kita yang ibuk simpan?” tanya bapak, ibu
menggeleng lemas.
Bapak mendekat kearah ijal dan
mengusap kening anaknya itu, bapak benar-benar sedih. Kemudian pergi keluar
membawa kantong daging kurban tadi. Sejam kemudian bapak datang, ia bopong ijal
di punggungnya “pak mau kemana?”tanya ibuk “kita kebidan buk” tanpa banyak
tanya ibuk mengikuti bapak, “kau jaga rumah isah” kata bapak. Aku hanya
mengangguk patuh. Beruntung ada bidan buka praktek hari itu, “anaknya makan
teratur buk?”tanya bidan itu kepada ibuk, “beberapa hari ini ia jarang makan
buk bidan” jawab ibu, kemudian ibuk bidan hanya mengangguk-angguk kemudian
memberikan resep serta tarif berobat. Bapak segera membayar obat-obat itu
kepada bidan. “pak darimana dapat uang itu”tanya ibu “maafkan bapak buk, daging
kurbannya bapak jual untuk berobat ijal” ibu terdiam, dalam hati ia juga merasakan
kecewa dan kasihan kepada ijial, anak itu sudah sangat berharap hari raya haji
bisa makan rendang, tapi bagaimana lagi.
Pagi hari esoknya keadaan ijal sudah
membaik, panasnya telah turun, subuh hari ia telah bangun seperti biasanya.
Wajahnya mulai tampak berseri lagi, didapur ibu sedang menghembus lesung, bapak
sedang mengangkat air dari sumur, ijal mendekat dan berkata “buk, ijal lapar,
mau makan rendang”. Dengan mata yang bekaca dan tanpa bapak sadari air sumur
yang dia angkut terjatuh dan berlari memeluk ijal. Entah apa yang harus
dikatakan pada ijal, anak laki-laki polos itu memandangi bapaknya heran.
Padang,
14 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar